HADIS DHA’IF DAN PEMBAGIANNYA


A.     Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa (etimologi), berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if  juga berarti saqim (yang sakit). Maka sebutan dari dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, dan yang tidak kuat.
Secara terminologis , ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungannya sama. Al-Nabawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:
مَا لَمْ  يُوْ جَدْ  فِيْهِ  شُرُوْطُ  الصَّحِةِ  وَ لاَ شُرُوْطُ  الحَسَنِ                                    
“ Hadis yang di dalam tidak terdapat syarat-syarat hadis dha’if dan syarat-syarat hadis
Muhammad ‘Ajjaj al-khotib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if adalah:
كُلُّ  حَدِيْثٍ  لَمْ تَجْتَمِعْ  فِيْهِ  صِفَة ُ القَبُوْل
                  
“Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.

Sifat-sifat maqbul dalam hadis definisi diatas maksudnya adalah sifat yang terdapat dalam hadis hasan dan hadis hasan, karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
“Hadis  yang di dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan”.


Menurut Nur al-Din’Itr, definisi yang baik tentang hadis dha’if  adalah :

“Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul,”

Maksudnya, suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis sahih atau hasan dinyatakan sebagai hadis dha;if yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah.[1]

B.     Kriteria-kriteria Hadis Dha’if
Pada definisi yang ketiga memang disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja ( dari persyaratan hadis shahih dan hadis hasan) hilang hadist itu dinyatakan sebagai hadist dloif.
Para ulama menemukan kedloifan hadis pada tiga bagian :
1.      Pada sanad
2.      Pada matan
3.      Pada perawinya
Dari ketiga bagian ini mereka membagi dan menguraikan ke dalam beberapa macam hadist dloif yang jumlahnya banyak sekali.[2]
Kriteria hadis dha’if  yaitu yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis sahih dan hasan.  Dengan demikan berhubung hadis dha’if  tidak memenuhi salah satu dari beberapa hadis di atas.  Maka kriteria dha’if ialah sebagai berikut:
1)     Sanadnya terputus
2)     Periwayatannya tidak adil
3)     Periwayatanya tidak dhabith
4)     Mengandung syadz
5)     Mengandung illat.
Pada hadis dha’if  terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk  menetapkan hedis tesebut bukan berasal dari Rasulullah Saw.[3]
Kehati-hatian dari para ahli hadis dalam menerima hadis itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadis dan menghukuminya sebagai hadis

C.     Macam-macam Hadis Dha’if
Ada tiga segi macam hadis dha’if  yaitu sebagai berikut:
1.      Hadis-hadis dha’if  yang bersambung-sambung sanadnya
a.       Hadis musnad.
Hadis Musnad, ialah ”tiap-tiap hadis marfu’ yang sanadnya muttashil.” 
Sebagian ulama menamainya musnad segala hadis muttashil, walaupun maukuf, atau maqthu’. Dan sebagian besar menamai musnad, segaala hadis marfu’ walaupun mursal, mu’dlal, ataupun munqothi’.

b.     Hadis Mutyashil/maushul
Ialah “Hadis yang bersambung-sambung sanadnya.’’
Maka hadis muttashil itu ada yang marfu, ada yang mauqut, ada yang maqthu’.[4]



2.      Hadis-hadis dha’if  karena tidak bersambung-sambung sanadnya
a.      Hadis Mu’allaq
Hadis mu’alaq adalah hadis yang terputus di awal sanad. Kata muallaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa bergantung itu diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-jidar  (dinding gantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.
Secara terminologis, hadis mu’allaq adalah hadis yang perawinya di awal sanad (perawinya yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara berturut.

b.     Hadis Munqathi’
Keterputusan di tengah  sanad dapat terjadi satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak. Jika keterputusan terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau tempat dalm keadaan tidak berturut-turut, hadis munqothi’ kata munqothi’ berasal dari bentuk vrbal inqatha’a yang berarti;berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Tentang definisi hadis munqathi’, para ulama berbeda pendapat berikut diemukakan beberpa definisi hadis munqathi itu:
(1)   Hadis munqathi adalah hadis yang sanadnya putus dimana saja, baik pada sanad terakhir atau periwayat pertama ( sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama).
(2)   Hadis munqathi adalah  hadis yang sanadnya terputus, karena periwaytan yang tidak bersetatus sebagai sahabat Nabi. Sanad hadis terputus pada peringkat sahabat dan tabi’in.
(3)   Hadis munqathi adalah hadis yang bagia sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidk jelas orangnya.
(4)   Hadis munqathi adalah  hadis yang dalam  sanadnya ada periwayat yang  gugur seorang atau dua orang secra berturutan.
(5)   Hadis munqathi adalah  hadis yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
(6)   Hadis munqathi adalah hadis yang sanadnya di bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad
(7)   Hadis munqathi adalah pernyataan atau perbutan tabi’in.

Untuk mengetahui keterputusan sanad (al-inqatha) pada hadis munqathi dapat diketahui dengan tiga cara;
1)      Dengan jelas
2)      Dengan samar-samar
3)      Dengan komperasi

c.      Hadis Mu’dhal
Kata mudhal berasal dari kata ‘adhala yang berarti melemahkan, melelahkan,menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk jenis hadis tertentu. Secara terminolog, menurut muhammad ‘Ajaj al-Khathib, hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.

d.     Hadis Mudallass
Hadis mudallass ialah “ hadis yang tiada disebut didalam sanad atau sengaja di gugurkan oleh seseorang perawi nama gurunya dengan cara yang memberi waham , bahwa dia mendengar sendiri hadis itu dari orang yang disebut namanya itu’.
Perbuatan ini dinmai : “tad-lis”
Si pembuatnya, dinamai”mudallis.” Riwayat mudallis itu. Tidak diterima, terkecil hadis-hadits ny yang memang ada di dengar sendiri dari gurunya.[5]
e.      Hadis Mursal
Kata “mursal” menurut etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti”melepaskan’.
Secara terminologi hadis mursal ialah hadis yang di marfu’kan oleh tabi’in Nabi saw.  Artinya, seorang tabi’in secara langsung  mengatakan, “bahwasannya rasulullah saw bersabda…”
Mengenai hukum hadis mursal ini para ulama berselisih pendapat namun terdapat tiga pendapat yang populer, yaitu;
1.      Hadis mursal dapat dijadikan hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat abu hanifah, Malik, dan segolongan ulama ahli fiqh, ahli hadis, ahli ushul.
2.      Hadis mursal adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ini adalah pndapat mayoritas ahli hadis.
3.      Hadis mursal harus dilihat lebih dahulu, jika dikuatkan oleh hadis lain, baik hadis musnad maupu hadis mursal lainya, maka ia dapat di terima dengan syarat yang mengeluarkan hadis tersebut.
Perlu diketahui bahwa apabila hadis mursal itu bertentangan dengan hadis muttasil, maka menurut mayoritas ulama ahli hadis dan yang lainnya, maka hadis muttasil, harus didahulukan terlebuh dahulu dari pada mursal.

3.      Hadis-hadis dha’if karena perawinya cacat atau karena sebab lain
a.       Hadis Matruk
b.      Hadis Munkar
c.       Hadis Syadz
d.      Hadis Mu’allal
e.       Hadis Mudltharab
f.        Hadis Mudraj
g.       Hadis Maqlub
h.       Hadis Mushahhaf
i.         Hadis Muharraf
j.        Hadis Mubham
4.      Beberapa macam hadis ditinjau dari segi sifat, riwayat  dan sanad
a.      Hadis Mu’an’an
b.     Hadis Muannan
c.      Hadis Muadabbaj
d.     Hadis Ali dan Nazil
e.      Hadis Musalsal
f.       Hadis Mutabi’
g.      Hadis Syahit
h.      Sabiq dan Lahiq.[6]



D.    Status Kehujahan
Cacat-cacat hadis dha’if  berbeda-beda, baik macam maupun berat ringannya. Oleh karena itu tingkatan hadis-hadis dha’if  tersebut juga berbeda. Dari hadis-hadis yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya,  yang paling rendah martabatnya adalah hadis maudu’, kemudian hadis matruk, hadis munkar, hadis muallal, hadis mudraj, hadis maqlub dan hadis-hadis lain. Dari hadis-hadis yang gugur atau sejumlah rawinya, yang paling lemah adalah hadis muallaq (kecuali hadis-hadis sahihnya,) hadis mudal, lalu hadis munqoti, kemudian hadis mursal.
Bila suatu hadis dha’if  dimungkian bahwa rawinya benar-benar hapal dan menyampaikan dengn cara benar, maka hal ini telah mengandung perbedaan pendapat yang serius dikalangan ulama’ sehubungan dengan pengalaman.
Pendapat pertama, hadis dha’if  tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya. Pendapat ini di sampaikan oleh beberapa imam, seperti; Imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan hadis dha’if dalam fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.
Al-Hafid Ibnu Hajar menjelaskan bahwa syarat megamalkan hadis dha’if ada tiga yaitu;
1)     Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadis dha’if  yang tidak terlalu dha’if.
2)     Hadis dha’if yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hdis dha’if yang sama sekali tidak memeilki dalil pokok.
3)     Hadis dha’if yang bersangkutan diamalkan, namun tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nab Saw. Sesutu yang tidak beliau katakan.
Pendapat ketiga; hadis dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun yang berkaitan halal-haram.pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.
Selanjutnya yang disebut hadis maudu’(palsu) adalah pernyataan yang sesungguhnya bukanlah hadis Nabi, tetapi beberapa kalangan menyebutnya sebagai hadis Nabi. Isi hadis palsu tidaklah selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran islam.
Sebagian ulama memasukkan hadis maudu’(palsu) kedalam salah satu jenis hadis dha’if , dalam hal itu adalah jenis yang paling buruk dan sebagian ulama lagi tidak memasukkannya kedalam jenis hadis.[7]


















PENUTUP

A.    KESIMPULAN
     Kata dha’if menurut bahasa (etimologi), berarti lemah, sebagai lawan dari qawi (yang kuat).
     Kriteria hadis dha’if  yaitu yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis sahih dan hasan.
Pada definisi yang ketiga memang disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja ( dari persyaratan hadis shahih dan hadis hasan) hilang hadist itu dinyatakan sebagai hadist dloif.
Para ulama menemukan kedloifan hadis pada tiga bagian yaitu Pada sanad, matan, dan perawinya
Dari ketiga bagian ini mereka membagi dan menguraikan ke dalam beberapa macam hadist dloif yang jumlahnya banyak sekali.

B.     KRITIK ATAU SARAN
Dengan demikian kritik dan sarannya kami harapkan untuk dapat memberikan dorongan yang bermanfaat bagi kami dan para pembaca semunya.










DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Muhammad Alwi.2012. ilmu Ushul Hadis. Yokyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasby Ash. 1997. ILMU HADIS. Semarang: PT. Pustaka  Rizki Putra
Ahmad, Muhammad. 2000. Ulumul Hadist. Bandung: CV Pustaka Setia.
Suprapto, Muzer. 2003. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
















[1] Idris, Studi hadis( Jakarta: kencana Prenada Media Group,2010), hal.178
[2] Muzer Suprapto, Ilmu Hadist (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2003), hal 124

[4] Tengku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, ILMU HADIS(Semarang: PT. Pustaka  Rizki Putra 1997), hal.195.
[5] Ibid., hal. 179-189.
[6] Idri, Loc.cit., hal. 199-210
[7] Muhammad Amad, Ulumul Qur’an (Bandung: CV PUSTAKA SETIA 2000), hal : 161-162

0 Response to "HADIS DHA’IF DAN PEMBAGIANNYA"

Post a Comment

Pages