PENDAHULUAN
Filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat sehingga aliran dalam filsafat
pendidikan sekurang-kurangnya sebanyak filsafat itu sendiri. Brubacher (1950)
mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu Filsafat pendidikan
“progresif” yang didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan
romantik naturalisme dari Roousseau dan filsafat pendidikan “ Konservatif”,
yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional),
dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua
puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang
berarti abadi, kekal, atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi
terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresifisme
yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Mohammad
Noor Syam (1984) mengemukaan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus
lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah
teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang dalam kebuyaan ideal.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perenialisme
Perenialisme
berasal dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuiting throughout the
whole year” atau “lasting for a very long time” – “abadi atau kekal”
dan dapat pula berarti “terus tiada akhir”. Dengan demikian esensi kepercayaan
filsafat Perenialisme ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang
bersifat kekal abadi. Selanjutnya Perenialis melihat bahwa akibat atau ujung
dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis diberbagai bidang
kehidupan umat manusia. Untuk mengobati zaman yang sedang sakit ini, maka
aliran ini memberikan konsep jalan keluar “regressive road to cultural”
yakni kembali kepada kebudayaan masa lampau yang masih ideal.[1]
Karenanya Perenialisme masih memandang penting pula peranan pendidikan dalam
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang kepada kebudayaan masalampau yang
dianggap cukup ideal dan telah teruji pula kehandalannya menahan arus kultural.
Perenialisme
adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap gerakan pendidikan
Progresivisme yang mengingkari supernaturual. Dan juga merupakan gerakan
pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada, dan bahwa
pendidikan hendaknya menjadi suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran
dan nilai-nilai tersebut.
Karakteristik
perenialisme menurut Robert M. Hutchins, bahwa tugas pendidikan sebagai
berikut : pendidikan mengandung mengajar, mengajar mengandung pengetahuan,
pengetahuan adalah kebenaran, kebenaran dimanapun adalah sama, karena itu
pendidikan dimanapun seharusnya sama.
Orientasi
pendidikan dari perenialisme adalah Scholastisisme atau Neo-Thomisme
yang pada adasarnya memandang kenyataan sebagai sebuah dunia akal pikiran dan Tuhan,
pengetahuan yang benar diperoleh melalui berpikir dan keimanan dan kebaikan
berdasarkan perbuatan rasional.[2]
Asas
yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayan yang berkiblat dua,
yaitu :
a.
Perenialisme
yang teologis-bernaung dibawah pohon supremasi gereja Katolik, dengan orientasi pada ajaran dan
tafsir Thomas Aquinas.
b.
Perenialisme
Sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.[3]
B.
Ciri-Ciri
Perenialisme
Perenialisme
mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain
kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan
perbuatan zaman kuno dan abad pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah
kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realita dan nilai dari
zaman-zaman tersebut. Semuannya ini telah dianggap sebagai dasar sivilisasi
dari abad ke abad, dengan perinciannya sebagai berikut
1.
Pandangan
menganai realita
Agar manusia
dapat berbijak pada pendirian-pendirian yang benar, yang karenannya dapat tegak
berdiri dalam arti spiritual, perlu dijamin dengan pandangan-pandangan mengenai
kenyataan yang bersifat universal. Artinya dimanapun dan bilamanapun tidak
berubah.
2.
Pandangan
mengenai pengetahuan
Perenialisme
berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan
adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang
menunjukan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Yang dimaksud dengan
benda-benda adalah hal-hal yang adannya bersendikan atas prinsip-prinsip
keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian
mengenai esensi dari sesuatu.
3.
Pandangan
mengenai nilai
Hakikat manusia
itu pertama-tama adalah pada jiwannya. Oleh karena itu hakikat manusia juga
menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya dan persoalan nilai adalah persoalan
spiritual. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang
berasal dari dan dipimpinan oleh Tuhan, dan atas dasar inilah tinjuan mengenai
baik dan buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang digunakan haruslah
teologis.[4]
C.
Tokoh-tokoh
Perenialisme
1.
Plato
Pokok pikiran
Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari pada
hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban
sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata
pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar
dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato
manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan, dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada
masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa
terpenuhi. Dan kemudian ide-ide Plato ini dikembangkan oleh Aristoteles dengan
lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan.[5]
2.
Aristoteles
Aritoteles dalam
pemikirannya mereaksi terhadap filsafat Plato, yaitu idealisme. Dengan hasil
pemikirannya yang disebut filsafat realism (realism klasik), dan mempunyai
tujuan pendidikan “kebahagiaan”. Cara berfikir Aritoteles berbeda dengan Plato,
yang menekankan berfikir rasional spekulatif. Aritoteles mengambil cara
berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip
realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aritoteles hidup pada
abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai pemikir abad
pertengahan. Karya-karya Aritoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan
yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia
mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan
kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan
pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles,
manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia
menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan
sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih
tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai
hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan yang abadi, alam supernatural.[6]
3.
Thomas Aquinas
Thomas Aquinas
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “usaha mewujudkan kapasitas yang ada
dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan
guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada padanya.[7]
D. Konsep Dasar Aliran
Perenialisme
Secara umum
prinsip-prinsip mendasar perenialisme yang terkait dengan manusia dan
pendidikan adalah manusia pada dasarnya sama, maka pendidikan semestinya sama
untuk semua orang. Seperti pernah dinyatakan oleh Hutchins : “Fungsi setiap
warga negara atau bawahan mungkin berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat
lain, tetapi fungsi manusia sebagai manusia itu tetap sama disetiap zaman dan
disetiap masyarakat, karena fungsi itu didasarkan sebagai kodratnya sebagai
manusia.[8]
a. Hakikat pendidikan
Tentang pendidikan kaum
Perenialisme memandang education as cultural regression : pendidikan sebagai
jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang
dianggap sebagai kebudayaan ideal.
b. Tujuan Umum Pendidikan
Membantu anak
menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena itu
kebenaran-kebenaran itu universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran
tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Tujuan
pendidikan menurut tokoh-tokoh dalam aliran perenialisme sebagai berikut :
1. Menurut Plato, tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas
normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
2. Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan adalah membentuk kebiasaan pada
tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral.
3. Menurut Thomas Aquinas, tujuan pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur
menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu.
c. Hakikat Guru
Tugas utama dalam
pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan
pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan
anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru. Berikut pandangan aliran
perenialisme mengenai guru atau pendidikan:
· Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan
belajar-mengajar di kelas.
· Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang
ahli (a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa
menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela.
d. Hakikat Murid
Murid dalam aliran perenialisme
merupakan makhluk yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama,
kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis.
e. Proses Belajar Mengajar
Tuntutan
tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin
mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntunan
tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama: Mental
dicipline, Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan, Leraning to Reason (belajar untuk
berpikir), Belajar sebagai persiapan hidup, Learning through teaching.
f. Kurikulum
Kurikulum menurut kaum
perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains.
Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan
bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh
manusia.[9]
DAFTRA PUSTAKA
Basuki As’adi,
M.Ag & Dr. M. Miftahul Ulum, M.Ag, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2010,
Ponorogo: STAIN PO Press.
Drs. Ismail Thoib, M.Pd, Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Genta Press, 2008.
http://trinitycute.blogspot.com/2012/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat.html
Muhammad
Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan(Malang: IKIP Malang, 1978)
Prof. Imam Barnadib, M. A., Ph. D. Filsafat Pendidikan Sistem
dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset.
Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
[1] Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat
Pendidikan(Malang: IKIP Malang, 1978), h. 153
[2] Basuki As’adi, M.Ag & Dr. M. Miftahul
Ulum, M.Ag, Pengantar Filsafat Pendidikan, 2010, Ponorogo: STAIN PO
Press, h. 17-19
[3] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, h. 28
[4] Prof. Imam
Barnadib, M. A., Ph. D. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta:
Andi Offset, h. 59-69
[5] Zuhairini, Op.
Cit., h. 28
[6] http://trinitycute.blogspot.com/2012/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat.html
[7] Zuhairini, Op.
Cit., h. 29
[8] Drs. Ismail
Thoib, M.Pd, Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Genta Press, 2008, h. 100
[9] http://trinitycute.blogspot.com/2012/05/pendidikan-menurut-aliran-filsafat.html
0 Response to "MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN PERENNIALISME"
Post a Comment